Marsinah: Korban Orde Baru, Pahlawan Orde Baru


Kompas, edisi khusus ulang tahun, Rabu, 28 Juni 2000.

Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti siapa yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya pertama kali, dan kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya? Seperti juga tak pernah terungkap melalui cara apapun: liputan pers, pencaraian fakta, penyidikan polisi, bahkan para dukun maupun pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya? Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita memang bisa mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya senidri. Tapi kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap penuh misteri hingga kini, walau tujuh tahun berselang.
Read more…

Marsinah, Tragedi Seorang Buruh Perempuan


Hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Awalnya adalah anak-anak yang bermain. Mengira bahwa kaki yang menjulur pada sebuah gubuk kelompok tani adalah milik orang gila yang biasa tidur di situ. Mereka menggoda sambil melempari dengan kerikil. Setelah berkali-kali dilempari dan tak ada reaksi, mereka pun mendekat. Alangkah terkejutnya ketika mereka mendapati bahwa kaki yang menjulur itu adalah kaki seorang mayat perempuan.

Mayat tersebut tergeletak dalam posisi terlentang. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangan tangannya lecet-lecet, diduga akibat diseret dalam tangan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Dari sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga akibat penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas.
Read more…

SEJARAH HARI BURUH SE-DUNIA (MayDay)


May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan [kapitalisme] industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.

Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.
Read more…

Tradisi Pernah Didefinisikan “Biadab”


Setelah William Thomas memperkenalkan istilah ”folk-lore” yang dimaknai sebagai pengakuan adanya sistem budaya dan pengetahuan masyarakat tradisional, 1846, Eropa Barat mulai bergerak melakukan studi tentang potensi seni yang dikategorikan ”tradisional” itu. Di Inggris, 1878, didirikan ”Folk-lore society” yang bekerja menerbitkan folklor lokal maupun yang berasal dari luar kebudayaan mereka. Negeri-negeri pemakai bahasa Jerman pun giat melakukan studi akademis: mengumpulkan, merekam, menulis dan mengklasifikasikan cerita- cerita rakyat, pakaian-pakaian tradisional yang khas, musik, tari, seni visual (gambar/lukis), serta aneka kerajinan masyarakat tradisional di pedesaan yang mereka sebut ”tak berpendidikan” dan ”tak tersentuh kehidupan modern”: sebutan yang terbias oleh definisi tradisi pada masa itu.
Read more…

Ratu Adil Bermodal Keris


KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, “Imam Negara Islam Indonesia”, “diringkus” tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Barat.

Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap para komandannya.

“Komandan Batalion” dan “Komandan Resor Militer” Tentara Islam Indonesia di Brebes justru menganjurkan prajuritnya menyerah. “Saya tegaskan: komandan yang menyerah akan saya tembak,” tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem, Brebes, akhir Juli lalu.
Read more…